Kegagalan ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan terjadi karena pola liputan yang cenderung fokus pada sensasi, alih-alih edukasi mendalam. Ketika informasi tidak terhubung, masyarakat kesulitan memahami ancaman nyata yang ada di depan mata mereka, padahal dampaknya sudah dirasakan di berbagai daerah. Untuk memahami masalah ini, penting melihat bagaimana media global membingkai pemberitaan iklim dan apa yang dapat diperbaiki.
Mengapa Media Global Gagal Memberi Konteks pada Berita Lokal?
Banyak media internasional fokus pada kejadian besar yang berdampak luas, tetapi sering kali mengabaikan pola kecil yang justru menunjukkan tren perubahan iklim secara lebih konsisten. Misalnya, berita tentang banjir di Asia Tenggara atau kekeringan di Afrika dilaporkan sebagai peristiwa terpisah, tanpa penjelasan bahwa keduanya merupakan bagian dari perubahan pola cuaca global. Ketika konteks hilang, publik melihatnya sebagai kejadian musiman, bukan indikator krisis yang semakin memburuk.
Selain itu, media global cenderung memprioritaskan konten yang menarik perhatian cepat. Bencana ekstrem memang mudah menarik pembaca, tetapi kedalaman analisis sering dikorbankan. Hal ini menyebabkan pemahaman publik menjadi dangkal—mereka tahu tentang bencananya, tetapi tidak tahu mengapa itu terjadi atau bagaimana pola itu berulang. Padahal, tanpa penjelasan ilmiah atau data tren jangka panjang, masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup untuk menyadari urgensi tindakan.
Dominasi sudut pandang negara maju juga menyebabkan kesenjangan naratif. Banyak peristiwa lokal di negara berkembang tidak mendapatkan liputan signifikan, padahal dampak iklim justru lebih parah dirasakan di kawasan tersebut. Ketika liputan minim atau terlambat, isu lokal kehilangan kesempatan menjadi bukti penting bagi pemahaman global mengenai eskalasi krisis iklim.
Dampak Kegagalan Media dalam Menghubungkan Narasi Iklim
Ketika berita lokal tidak dikaitkan dengan tren global, masyarakat cenderung tidak melihat krisis iklim sebagai ancaman yang dekat. Salah satu dampak langsungnya adalah rendahnya kesadaran publik dalam melakukan tindakan preventif. Misalnya, masyarakat yang tinggal di wilayah rawan banjir mungkin tidak memahami bahwa intensitas hujan ekstrem kini semakin meningkat akibat perubahan iklim, sehingga mereka menganggap bencana tersebut sebagai kejadian rutin.
Kegagalan ini juga memengaruhi kebijakan publik. Ketika tekanan dari masyarakat rendah, pemerintah tidak memperoleh dorongan kuat untuk mempercepat adaptasi dan mitigasi risiko. Padahal keputusan seperti pembangunan infrastruktur hijau, penguatan sistem peringatan dini, hingga transisi energi sangat membutuhkan dukungan publik yang memahami ancaman krisis iklim secara menyeluruh.
Di tingkat global, ketidakpahaman ini berkontribusi pada lambatnya kerja sama internasional. Negara-negara tidak merasakan urgensi kolektif untuk bergerak bersama karena narasi yang terpecah membuat masalah tampak terfragmentasi. Padahal krisis iklim tidak mengenal batas negara; pola cuaca ekstrem di satu wilayah dapat memicu dampak sosial, ekonomi, dan geopolitik di wilayah lain.
Kesimpulan
Krisis iklim membutuhkan pemberitaan yang mampu menjembatani peristiwa lokal dengan gambaran global. Media global memiliki peran besar dalam membangun kesadaran kolektif, tetapi saat ini masih sering gagal menghubungkan narasi tersebut secara utuh. Ketika berita lokal tidak diberi konteks, publik melihat bencana sebagai kejadian terisolasi, bukan bagian dari pola perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Agar masyarakat dapat memahami ancaman sebenarnya, media perlu mengubah pendekatan liputan: menambahkan analisis tren jangka panjang, memperkaya perspektif dari negara berkembang, dan menekankan hubungan antarperistiwa. Dengan narasi yang lebih terhubung, informasi yang disampaikan tidak hanya menjadi berita, tetapi juga pengetahuan yang mendorong tindakan nyata.
